Resital Biola Eli Al-istiqomah biasa dipanggil Eli oleh teman-temannya adalah gadis cantik, pintar, dan sholehah. Pagi ini seperti biasa dia berangkat pagi-pagi dari asrama ke kampusnya.

“Eli !!”
Merasa dipanggil dia menoleh kearah suara dan menemukan Niken sang sabahat. Dia pun tersenyum, lalu mereka melanjutkan berjalan bersama kekoridor kampus.
” Kamu tau ngga kalo gus Awe sudah pulang dari Kairo” tanya Niken gadis berjilbab hijau itu.
“Gus Awe?” Eli mengulang nama itu sambil mengangkat alis.
” Aaaaah…maksudku gus Ahmad Wildhan.”
” Ahmad Wildhan, siapa? ” gadis berjilbab biru itu semakin bingung.
” Masa kamu tidak tahu, dia itu putra semata wayang pak kyai Hadi, udah pinter, ganteng, sholeh lagi. Dia itu lulusan terbaik dari Kairo loh. “
” Emang kamu sudah bertemu dengan dia?”
” Eeem belum sih.” kata Niken sambil cengengesan.
“Lalu bagaimana bisa kamu dengan yakin menilai dia?” Eli tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
” Katanya kating diasrama sih.”
” Katanya? Kata itu belum pasti nyata Niken!”
“Eh tapikan… “
“hustt sudah nda usah tapi-tapi, ngga penting ngebahas begitu.. “
Langkah kaki keduanya memasuki sebuah ruangan aula kampus yang sudah berkumpul puluhan Mahasiswa dan mahasiswi Bec didalamnya.
Karena kegiatan Al-matsurat belum dimulai para mahasiswi tengah sibuk ngerumpi dengan membagi menjadi beberapa kelompok. Dari masing-masing kelompok jika didengarkan mereka membicarakan hal yang sama, yaitu betapa tampan dan hebatnya gus Awe.
Eli hanya menggelengkan kepala, dia lalu menuju kotak hp untuk mengumpulkannya, kemudian dia dan Niken melangkah menuju karpet masjid paling depan dekat tabir pembatas antara para mahasiswa dan mahasiswi.
Masih dengan keraiman, Eli mendengus kesal, karena konsentrasinya dalam membaca Al-qur’an terpecah.
” Permisi…!” ujar Eli sambil mengangkat tangan.
Semua diam dan mengalihkan pandangan kepada dia. Termasuk kesibukan mahasiswa putra didepan tabir pun ikut berhenti, menoleh kearah asal suara.
“Bisa tolong diam nggak? Apa kalian ngga sadar kalo kita sedang berada di mushola dan kalian malah keghibahin orang yang sama dari tadi.” ujar Eli dengan tegas.
” Apa urusannya denganmu kalo kita membicarakan orang yang sama?” jawab Lestri salah satu mahasiswi Bec.
“Mengganggu! ” jawab Eli dengan berani.
“Waaah, apa kamu tahu apa yang sedang kami bicarakan? ” tanya Lestri mahasiswi yang memakai jas itu.
“Saya tau, kalian sedang membicarakan gus Awe yang katanya tampan, pintar dan lain-lainnya itu kan. “
“Betul, lalu kalo tahu kenapa kamu merasa pembicaraan kami menggangu? ” kata Lestri dengan sewot.
” Kita kan kesini untuk belajar, dan disini juga mushola tempat untuk beribadah bukan untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting seperti itu! “
” Ngga penting kata kamu! Gus Awe itu putra satu-satu nya pak kyai Hadi, most wanted nya Bec.
“Lalu kenapa jika dia putra pak kyai? Toh dia sama-sama manusia seperti kita”
“Waah, itu sama saja kamu menghina gus Awe.”
“Saya tidak menghina, saya cuma mengutarakan apa yang saya fikir benar.”
” What..? ” suasana mamanas.
Sebelum suasananya semakin memanas Niken berdiri sambil menyeret Eli menuju arah kamar mandi.
Salah seorang akhi yang sedang membaca Al-qur’an di pojokan mushola pun hanya mengukir senyum penuh tanya. Ia menutup Qur’annya dan beranjak pulang ke ndalem.
To be continue…